Terbitan tgl: 31.1.2006
© Schwäbisches Tagblatt
Diterjemahkan dari bahasa Jerman oleh:
Leliana Hägele-Gandasetiawan, Stuttgart, Jerman
Download Artikel dalami Bahasa Indonesia
Pandangan baru terhadap kebudayaan kuno
Ibu Christine Schreiber, penduduk kota Wurmlingen, memperkenalkan bukunya mengenai kehidupan orang Batak di Sumatera.
WURMLINGEN. Informasi sebanyak itu tentang Sumatera, belum pernah ada di Wurm-lingen. Sekitar 150 orang tamu hadir, sebagian besar berasal dari Indonesia. Mereka hadir pada hari Sabtu siang yang lalu di gedung paroki St. Josef, dimana Ibu Christine Schreiber, sarjana Etnologi dari Wurmlingen itu memperkenalkan bukunya mengenai kehidupan orang Batak di Sumatera. Isi buku tersebut merupakan pandangan pribadi Ibu Christine Schreiber mengenai dukun-dukun wanita, susunan marga atau pemakaman kedua.
Kebudayaan Batak yang dirayakan pada hari Sabtu di Wurmlingen, meliputi acara makan, tarian, upa-cara publikasi penerbitan buku dan acara menyanyi. Sebagai pembukaan, tampil koor kecil yang terdiri dari Ibu-Ibu marga Batak yang berasal dari Jerman Selatan. Selendang yang disampirkan oleh sebagian besar pengunjung pesta, merupakan tanda anggauta marga.
Awal mulanya Ibu Christine Schreiber hanya ingin menerbitkan sebuah brosur mengenai penduduk yang tinggal di pulau Samosir dan sekitarnya, Sidihoni, tetapi dalam waktu yang singkat informasi yang terkumpul sudah berkembang sedemikian rupa menjadi sebuah buku. Buku itu dikerjakannya dalam waktu lima tahun. Berisi informasi aktuel, membahas penduduk dan kebudayaannya dan sekaligus menceritakan pandangan pribadi dari penulisnya. "Saya ingin menunjukkan, bagaimana kebudayaan didaerah pedalaman. Sebagian besar masih mengikuti adat yang sangat kuno, seolah-olah mereka itu masih pemakan orang (kanibal)."
Ibu Schreiber bersosialisasi dengan penduduk Batak-Toba, sekelompok masyarakat Indonesia yang hidup di daerah pegunungan Sumatera Utara, dalam perjalanan wisatanya di Asia. Beberapa tahun kemudian kembali lagi sebagai sarjana etnologi dan akhirnya menyelamkan dirinya dalam kehi-dupan kebudayaan masyarakat tersebut pada saat dia diangkat sebagai anak oleh salah satu keluarga disana. Untuk masyarakat Batak dia bernama boru Malango.
"Meskipun begitu saya tetap merasa bahwa saya setengah Eropa", kata Ibu Schreiber yang sudah beberapa tahun belum kembali kesana. "Saya tidak sesuai dengan pola gambaran disana. Misalnya, saya termasuk dalam suatu marga, tetapi sampai sekarang saya belum menikah"
Di dalam bukunya, Ibu Schreiber menguraikan susunan marga, menceritakan tentang dukun-dukun wanita, pembangunan sebuah rumah, dimana dia ikut membantu bekerja atau tentang upacara pemakaman kedua yang masih hidup. Dalam upacara ini sisa-sisa tulang sanak keluarga dari beberapa generasi yang sudah meninggal, digali kembali dan dikubur bersama di dalam sebuah rumah yang telah khusus dibangun untuk upacara tersebut. Ibu Schreiber mengutarakan, bahwa upacara yang masih menganut kepercayaan kuno ini, di bagian Sumatera yang sudah dikristi-anisasikan sudah sejak dulu tidak diijinkan lagi oleh gereja. "Tetapi sekarang sudah diizinkan lagi dalam bentuk upacara yang lebih disesuaikan dengan gereja".
Buku itu, kata Konjen Muhammad Abdul Dalimunthe yang juga termasuk dalam salah satu marga Batak, dan hadir dalam pesta tsb., sangat berarti. "Buku itu memberikan pengetahuan tentang kita sendiri. Dan Ibu Schreiber sendiri sekarang lebih mengetahui tentang kita daripada kita sendiri" Sarjana teologi dari Tübingen, Prof. Günter Kehrer telah memberi dorongan kepada Ibu Schreiber untuk menulis buku itu: "Isi buku tersebut secara ilmiah sifatnya tepat, meskipun demikian dapat dinikmati oleh khalayak luas". Dia memang sudah sengaja tidak menulisnya sebagai disertasi, seperti yang sebenarnya direncanakan sebelumnya. "Saya akan bersenang hati menerima gelar doktor kehormatan apabila diberikan", kelakarnya di Wurmlingen, "tapi tidak satu kata pun boleh diubah".
Pada saat ini wilayah yang diselidiki oleh Ibu Schreiber sedang dalam perjuangan menanggulangi akibat gempa bumi yang disebabkan oleh Tsunami. Diakibatkan oleh pergeseran lapisan tanah, danau Sidihoni yang besarnya 4 hektar, permukaan airnya turun secara drastis. Ibu Christine Schreiber: "Bencana alam ini sangat menyulitkan. Danau tersebut merupakan sumber kehidupan utama untuk penduduk disitu". Bulan Mei mendatang dia akan kembali mengunjungi tanah Batak, untuk mengantarkan buku tersebut ke orangtua angkatnya.
Berdasarkan dari wawasan luas, yang telah dikumpulkan selama ini oleh Ibu Schreiber, dia akan melanjutkan menulis buku pedoman mengenai Sumatera. Tetapi tujuan utamanya di tahun-tahun yang mendatang, adalah jilid kedua dari buku yang sudah terbit sekarang ini. Dalam jilid kedua ini, dia akan menulis sebanyak lebih dari 3250 halaman, ditulis rapat, sebagai olahan dari buku harian penelitiannya. Ibu Schreiber mengatakan: "Berlawanan dengan kebiasaan dari para etnologi, buku harian itu akan saya publikasi sebelum saya meninggal".
INFO
"Sidihoni – Perle im Herzen Sumatras, Stationen und Bilder einer Feldforschung" diterbitkan oleh tb-Verlag, Tübingen.
Buku ini terdiri dari 240 halaman, dengan 257 foto, harga: 30 Euro.
Bisa dipesan langsung dari penulis, melalui website www.sidihoni.com
Diterjemahkan dari bahasa Jerman oleh:
Lelian Hägele-Gandasetiawan, Stuttgart, Jerman